ANAK ADALAH AMANAH ALLAH
ANAK ADALAH AMANAH ALLAH[1]
Silsilah no. 4
Tentu banyak di
antara kita yang pernah dititipi sesuatu oleh orang lain. Amanah tersebut
mestinya akan kita jaga sebaik-baiknya. Terlebih jika titipan tersebut adalah
barang yang amat berharga, dan orang yang menitipkannya kepada kita adalah
orang terhormat.
Namun, ada satu
amanah yang sangat istimewa, dan yang menitipkannya kepada kita pun, Dzat yang
amat mulia, tetapi justru malah seringkali kita menyia-nyiakannya. Titipan yang
tidak semua orang mendapat kehormatan untuk mengembannya. Amanah tersebut tidak
lain adalah anak.
Bayi yang Allah
anugerahkan kepada kita bagaikan mutiara yang masih berada dalam cangkangnya.
Masih terjaga dari jamahan tangan-tangan luar. Hatinya masih suci, ibarat
selembar kertas putih, tanpa goresan apalagi ukiran. Setelah itu sedikit demi
sedikit, kepribadian dan perilaku anak terbentuk, sesuai dengan apa yang
dilihat di komunitas terdekatnya. Yakni di dalam rumah dan lingkungannya.
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam
menjelaskan,
"مَا مِنْ مَوْلُودٍ
إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ
أَوْ يُمَجِّسَانِه"
"Setiap
bayi lahir dalam keadaan fitrah. Orang tuanya lah yang akan menjadikan ia
Yahudi, Nasrani atau Majusi". HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah.
Itulah masa
keemasan yang tidak boleh disia-siakan. Kesalihan anak bukanlah hadiah gratis
yang turun dari langit begitu saja. Namun membutuhkan usaha dan perjuangan dari
orang tua.
Tanggung jawab kita
terhadap anak bukan sekedar memberinya makan kenyang, pakaian bagus ataupun
rumah lapang. Tetapi tanggung jawab yang lebih berat adalah memberikan
pendidikan terbaik bagi mereka dan menyelamatkan mereka dari azab Allah.
[Lihat: QS. At-Tahrim (66): 6].
Allah ta’ala pasti
akan meminta pertanggungjawaban kita atas amanah ini. Dalam hadits disebutkan:
"كُلُّكُمْ رَاعٍ
وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ؛ ... وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى
أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا
وَوَلَدِهِ وَهِىَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ..."
"Setiap
kalian adalah pemimpin dan semua akan ditanya tentang bawahannya … Lelaki
adalah pemimpin bagi keluarganya, dan dia akan ditanya tentang mereka. Wanita merupakan
penanggungjawab di rumah suaminya serta bagi anaknya, dan dia akan ditanya
tentang mereka." HR.
Bukhari dan Muslim.
Memang tugas dan
tanggung jawab ini tidaklah ringan. Ujian dan rintangan mungkin muncul silih
berganti. Rasa letih dan bosan kadang datang mendera. Sementara setan terus
membuat makar dan tipu daya untuk mematahkan semangat kita. Sekaligus
mengompori sifat keluh kesah, yang memang merupakan tabiat dasar manusia.
[Baca: QS. Al-Ma’arij (70): 19].
Namun, tipu daya
tersebut tentu harus dilawan! Jauhilah sifat keluh kesah sebisa mungkin. Sebab
keluh kesah hanya akan membawa kerugian. Karena, sekecil apapun tugas dan
tanggung jawab, bila disikapi dengan keluh kesah, amarah dan perasaan tidak
ikhlas, maka tugas ringan akan menjadi beban berat. Lebih rugi lagi, karena
hati tidak ikhlas, akibatnya pahala gagal diraih. Ibarat sudah jatuh tertimpa
tangga pula.
Sebaliknya, jika
tanggung jawab ini dipikul dengan penuh keikhlasan, niscaya akan membawa
kebaikan. Sebab, seberat apapun tugas dan tanggung jawab, bila dilakukan dengan
penuh keikhlasan, kegembiraan dan harapan, maka tugas berat akan terasa ringan.
Lebih dari itu, berkat keikhlasan hati, semua jerih payah dan setiap tetesan
keringat, akan bernilai pahala di sisi-Nya. Inilah keberuntungan di atas
keberuntungan. Di dunia, pekerjaan terasa nikmat dan bisa mencicipi buah manis
kebaktian anak. Sedangkan di akhirat, maka insyaAllah akan menuai
limpahan pahala. Allahumma amien…
@ Pesantren “Tunas
Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga,1 Rabi’uts Tsani 1434 / 11 Februari 2013
*)Naskah Asli Ustadz Abdullah Zaen
[1]
Diringkas oleh Abdullah Zaen, Lc, MA dari buku “Mencetak Generasi Rabbani”
karya Ummu Ihsan Choiriyyah dan Abu Ihsan al-Atsary (hal. 15-19) dengan
beberapa perubahan.
Post a Comment