HIDAYAH BUKAN DITANGAN KITA
HIDAYAH BUKAN DI TANGAN KITA[1]
Silsilah no 7
Jika kita
menginginkan anak-anak kita menjadi generasi yang salih-salihah, maka kita
harus berusaha maksimal untuk itu. Kita wajib mengerahkan segala daya dan upaya
yang kita miliki. Siap untuk letih, capai dan lelah untuk mendidik, mengarahkan
serta menasehati mereka. Jika itu telah dilakukan, maka bersiaplah untuk
memetik buah manis usaha keras kita!
Namun, ada satu hal
penting yang harus senantiasa diingat. Yaitu hidayah bukanlah di tangan
kita. Satu-satunya pemilik mutlaknya adalah Allah ta’ala. Dalam
al-Qur’an disebutkan:
"فَإِنَّ اللَّهَ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ
يَشَاءُ"
Artinya: “Sesungguhnya
Allah menyesatkan siapa yang dikendaki-Nya dan memberi hidayah kepada siapa
yang dikehendaki-Nya”. QS. Fâthir (35): 8.
Sebesar apapun
usaha yang kita kerahkan, jikalau Allah tidak berkehendak, maka mustahil
keinginan kita akan tercapai. Lihatlah bagaimana manusia paling bertakwa di
muka bumi, Rasulullah shallallahu ‘alaihiwasallam, pun tak kuasa untuk
memberi hidayah kepada orang yang sangat beliau cintai; Abu Thalib pamannya.
[Baca: QS. Al-Qashash (28): 56].
Apalah pula
kesalihan kita dibanding Nabi Nuh ‘alaihissalam? Jikalau beliau tidak
kuasa memberikan hidayah kepada buah hatinya, bagaimana dengan kita?
Di saat air bah
melanda, beliau masih berusaha keras mengajak anaknya untuk menaiki kapal besar
yang dibuatnya. Namun Allah tidak berkenan memberikan hidayah kepada si anak,
sehingga justru dengan pongahnya ia menjawab akan menaiki gunung tertinggi. Pada
akhirnya ia pun tenggelam dilamun ombak. [Baca: QS. Hûd (11): 42-47].
Putra seorang Nabi
yang telah menghabiskan umur hampir sepuluh abad untuk berdakwah, ternyata
justru meninggal dalam keadaan tidak beriman??! Bukankah ini memberikan
pelajaran yang amat dalam bahwa hidayah bukanlah di tangan manusia?
Seluruh keterangan
di atas bukan dalam rangka memprovokasi agar kita melempem dalam
mendidik anak, bukan! Tidak pula dalam rangka mengajak kita menyerah dengan keadaan,
tanpa melakukan usaha maksimal, tidak! Tetapi tulisan ini dituangkan dalam
rangka untuk mengingatkan kita semua bahwa ikhtiar belaka tidaklah cukup.
Namun harus diiringi dengan sesuatu yang bernama doa dan tawakal
kepada Allah ta’ala.
Usaha tanpa doa
merupakan sebuah kesombongan, sedangkan pasrah tanpa usaha adalah sebuah
kejahilan.
Maka jangan sampai
kita mengandalkan kekuatan diri sendiri semata dan bergantung padanya saja.
Sebagaimana doa yang sering dipanjatkan Nabi shallallahu’alaihiwasallam,
"يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ بِرَحْمَتِكَ
أَسْتَغِيثُ، أَصْلِحْ لِي شَأْنِي كُلَّهُ، وَلاَ تَكِلْنِي إِلَى نَفْسِي طَرَفَةَ
عَيْنٍ"
“Wahai Yang Maha
Hidup dan Maha mengurusi para makhluk-Nya, dengan rahmat-Mu aku memohon
pertolongan. Perbaikilah seluruh keadaanku. Dan jangan Engkau jadikan aku
bergantung kepada diriku, walaupun hanya sekejap mata”. HR.
Al-Hakim dari Anas bin Malik dan dinilai sahih oleh al-Hakim dan adh-Dhiya’
al-Maqdisy.
Maka dari itu
selain usaha lahiriah yang kita kerahkan, janganlah pernah melupakan lantunan
doa yang senantiasa dipanjatkan ke hadirat Allah ta’ala, terutama di
waktu-waktu yang mustajab!
@ Pesantren “Tunas
Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga,13 J Ula 1434 / 25 Maret 2013
[1] Diramu
ulang oleh Abdullah Zaen, Lc., MA dari buku “Mencetak Generasi Rabbani”
karya Ummu Ihsan Choiriyyah dan Abu Ihsan al-Atsary (hal. 29-32) dengan banyak
tambahan.
Post a Comment